Pengamat: KPK Harus Usut Utang Anies Baswedan Rp 50 M di Pilkada 2017

Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto. (ist)

Hepinews – Pengamat kebijakan publik Sugiyanto menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mendalami kasus utang mantan Gubernur DKI Anies Baswedan yang menang di Pilkada Jakarta 2017.

Sugiyanto mengatakan, merujuk pada surat utang Anies yang beredar di media sosial sebanyak Rp 92 miliar.

Bacaan Lainnya

“Jumlah utang dengan nilai Rp 92 miliar sangat besar. Sepertinya sangat tak masuk akal bila ada orang yang membuat klasul perjanjian seperti ini tampa ada pamrih,” ujar pria yang akrab disapa SGY ini, Rabu (22/2).

Baca Juga  Lecehkan Pengadilan, 3 Tergugat Kompak Tak Hadir

Oleh karena itu, SGY menduga ada pamrih atau ada maksud dan tujuan tertentu dari pihak yang meminjamkan kepada Anies Baswedan dengan syarat “Utang Lunas Bila Menang Pilkada.”

“Kemudian, pertanyaanya adalah, ada dugaan pamrih apa? Atau apa maksud dan tujuan tertentu dari meminjamkan utang Pilkada itu?,” ungkapnya.

Dari pertanyaan di atas, lanjut SGY, boleh jadi akan muncul jawaban pamrih negatif dimasyarat.

“Jawaban itu seperti, dugaan ada maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi,” bebernya.

Dugaan keuntungan pribadi itu bisa didapat memamfatakan jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, sehingga dapat dinikmati baik oleh pemberi pinjaman atau bagi penerina pinjaman.

Untuk bisa membuktikan dugaan KKN tersebut, SGY meminta KPK dapat mendalami pengakuan utang Pilkada Anies Baswedan.

Baca Juga  Presiden Jokowi Tidak Nyenyak Tidur Saat Menginap di Kantor IKN

“KPK bisa menyorot dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Anies,” ucapnya.

Seperti diketahui, dalam laporan LHKPN, kekayaan Capres dari Partai NasDem itu sebesar Rp 18,56 miliar yang disampaikan pada 31 Maret 2022.

Dari jumlah tersebut diketahui Anies hanya memiliki utang sebesar Rp 7.60 miliar, sehingga total kekayaan menjadi senilai Rp. 10.95 miliar.

“Jadi bila utang pilkada mantan Gubernur DKI itu belum lunas dapat diduga tidak jujur dalam membuat LHKPN,” pungkasnya.

Untuk itu, kata SGY, agar permasalahan ini tidak menjadi preseden, maka sebaiknya pemerintah dapat segera merespons.

“Dalam hal ini adalah respons dari lembaga-lembaga negara terkait. Seperti KPU, Bawaslu, dan KPK,” ujarnya. (*)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *